Jumat, 12 April 2019

bullying - Kekerasan Simbolik


                                                                    Kekerasan Simbolik 
                                                               by : Nursilaningsie, S. Sos

Bullying yang dilakukan oleh kalangan pelajar khususnya pelajar pada jengjang SMP termasuk pada perilku menyimpang yang dilakukan oleh remaja yang biasa disebut dengan delinquency. Perilaku bullying baik dilakukan secara fisik, mental dan verbal terhadap seseorang merupakan tindakan yang termasuk pada fakta sosial. Tentang normal tidaknya perilaku kenakalan atau perilaku menyimpang, pernah dijelaskan dalam pemikiran Emile Durkheim (dalam Soerjono Soekanto, 2013: 73). Bahwa perilaku menyimpang atau jahat kalau dalam batas-batas tertentu dianggap sebagai fakta sosial yang normal dalam bukunya “ Rules of Sociological Method” dalam batas-batas tertentu kenakalan adalah normal karena tidak mungkin menghapusnya secara tuntas, dengan demikian perilaku dikatakan normal sejauh perilaku tersebut tidak menimbulkan keresahan dalam masyarakat, perilaku tersebut terjadi dalam batas-batas tertentu dan melihat pada sesuatu perbuatan yang tidak disengaja. Jadi kebalikan dari perilaku yang dianggap normal yaitu perilaku nakal/jahat yaitu perilaku yang disengaja meninggalkan keresahan pada masyarakat. Bullying termasuk pada perilaku yang sengaja ditujukan kepada orang lain dan menimbulkan keresahan di dalam norma masyarakat.
Bullying dikategorikan sebagai perilaku antisosial atau misconduct behavior (Jenkins, 1995; Morton, 1999 dalam Jurnal Penelitian), dengan menggunakan kekuatannya kepada korban yang lemah, secara individu ataupun kelompok, dan biasanya terjadi berulang kali (Smith, Cousins, & Stewart, 2005; Mongold, 2006 dalam jurnal penelitian). Bentuk perilaku tersebut dikatakan sebagai bentuk deliquincy /kenakalan remaja karena perilaku bullying mayoritas dilakukan oleh usia  akan remaja dan dalam lingkungan institusi pendidikan yang didalamnya ada nilai dan norma yang harus ditaati dan jika dilanggang akan memperoleh konsekuensinya.
      Bullying termasuk pada perilaku yang menyimpang atau yang biasa disebut dengan penyimpangan sosial. Menurut Soerjono Soekanto perilaku menyimpang disebut sebagai salah satu penyakit masyarakat atau penyakit sosial. Penyakit sosial atau penyakit masyarakat adalah segala bentuk tingkah laku yang dianggap tidak sesuai, melanggar norma-norma umum, adat-istiadat, hukum formal, atau tidak bisa diintegrasikan dalam pola tingkahlaku umum. Disebut sebagai penyakit masyarakat karena gejala sosialnya yang terjadi ditengah masyarakat itu meletus menjadi ”penyakit”. Dapat disebut pula sebagai struktur sosial yang terganggu fungsinya.
            Bourdieu (dalam Nanang Martono, 2012:39), kekerasan berada dalam lingkup kekuasaan. Hal tersebut berarti kekerasan merupakan pangkal atau hasil sebuah praktik kekuasaan. Ketika sebuah kelas mendominasi kelas yang lain, maka di dalam proses dominasi tersebut akan menghasilkan sebuah kekerasan. Kekerasan muncul sebagai upaya kelas dominan untuk melanggengkan dominasi atau kekuasaannya dalam struktur sosial. Jadi, kekuasaan dan kekerasan merupakan dua konsep yang tidak dapat dipisahkan. Modal simbolik merupakan media yang mengantarkan hubungan antara kekuasaan dan kekerasan tersebut. Ketika pemilik modal simbolik menggunakan kekuataannya yang ditujukan kepada pihak lain yang memiliki kekuasaan yang lemah, maka pihak lain tersebut akan berusaha mengubah tindakan-tindakannya. Hal ini menunjukkan terjadinya kekerasan simbolik melalui peran modal simbolik.
        Lingkungan yaitu suatu tempat berinteraksi antar individu maupun antar kelompok untuk menjalin kebersamaan. Menurut Bourdieu, lingkungan merupakan tempat pertarungan dan perjuangan, tempat beradu kekuatan, dan tempat di mana adanya konflik individu atau konflik antar kelompok untuk mendapatkan suatu posisi. Jadi, kelompok mayoritas menggunakan lingkungan yang ada menjadi tempat mereka berdominasi dan membentuk suatu kekuasaan serta melakukan kekerasan kepada kelompok lain.
         Untuk menjelaskan aksi dominasi melalui kekrasan ini, kelas dominan selalu berupaya agar aksinya tidak mudah untuk dikenali. Untuk itu, mekanisme kekerasan untuk melanggengkan kekuasaan tersebut harus dilakukan bukan dengan jalan kekerasan secara fisik yang nyata. Mekanisme kekerasan yang dilakukg digan kelas dominan dilakukan secara perlahan namun pasti, sehingga kelas terdominasi tidak sadar dirinya menjadi objek kekerasan. Dengan demikian, kelas dominan memiliki kekuasaan yang digunakan untuk mendominasi kelas yang tidak beruntung., kelas tertindas. Mekanisme kekerasan seperti inilah yang disebut dengan kekerasan simbolik (Nanang Mortono, 2012:39).
          Sekolah telah menjadi tempat untuk melakukan praktik-praktik kekerasan simbolik, misalnya kelas dominasi memberikan habitus kepada kelas minoritas untuk memakai bahasa yang sama dengan kelas dominan. Jika tidak mereka (kelas tertindas) akan di bully  oleh kelas dominan karena tidak menerima dan tidak dijalankan habitus yang diberikan. Perilaku bullying yang dilakukan berupa cemoohan, ejekan dan kekerasan secara verbal yang menyakitkan hati sehingga berdampak pada kelompok tertindas tidak mudah bergaul dan merasa minder untuk berteman dengan kelompok lainnya.
Konsep dasar Bourdieu yang berguna untuk menjelaskan makna kekerasan simbolik yang kemudian dikaitkan dengan konsep pendidikan dan sekolah.

1.      Modal
Bourdieu menyebut istilah modal sosial (social capital), modal budaya (cultural capital), dan modal simbolik (symbolic capital).
Modal sosial menunjuk pada sekumpulan sumber daya yang aktual atau potensial yang terkait dengan kepemilikan jaringan hubungan saling mengenal dan saling mengakui yang memberi anggotanya dukungan modal yang dimiliki bersama. Modal sosial dalam bentuk praktis didasarkan pada hubungan yang relatif tidak terkait seperti pertemanan, sedangkan dalam bentuk yang terlembagakan, modal sosial terwujud dalam keanggotaan dalam suatu kelompok yang relatif terikat, seperti: keluarga, suku, sekolah, dan sebagainya.
Modal budaya menunjuk pada serangkaian kemampuan atau keahlian individu, termasuk diantaranya adalah sikap, cara bertutur kata, berpenampilan, cara bergaul, cara bergaul, dan sebagainya. Modal budaya dapat terwujud dalam tiga bentuk. Pertama, dalam kondisi “menubuh”, modal budaya dapat berupa disposisi. Modal ini dipengaruhi melalui proses “penubuhan” dan internalisasi yang membutuhkan waktu agar diposisi ini dapat menyatu dengan dalam habitus seseorang. Kedua, dalam kondisi terobjektifikasi, modal budaya terwujud dalam terwujud dalam benda-benda budaya. Ketiga, dalam kondisi terlembagakan, modal budaya ini terwujud dalam bentuk khas atau unik, yaitu keikutsertaan dan pengakuan dari lembaga pendidikan dalam bentuk gelar-gelar akademis atau ijazah. Cara atau sikap seseorang ketika berhubungan dan memperlakukan orang lain cukup menjadi cermin kedudukan orang.
Modal simbolik merupakan sebuah bentuk modal yang berasal dari jenis yang lain, yang disalahkenali bukan sebagai modal yang semena, melainkan dikendali dan diakui sebagai suatu yang sah dan natural. Menurut Bourdieu modal simbolik merupakan sumber kekuasaan yang krusial.

2.      Kelas
Kelas sebagai kumpulan agen atau aktor yang menduduki posisis-posisi serupa dan ditempatkan dalam kondisi serupa serta ditundukkan atau diarahkan pada pengkondisian yang serupa. Individu yang memepunyai dan berada dikedudukan yang sama tersebut akan memiliki sikap mental atau praktik sosial yang sama. Menurut Bourdieu, setiap kelas memiliki sikap, selera, kebiasaan, perilaku atau bahkan modal yang berbeda. Perbedaan ini menyebabkan munculnya hubungan antarkelas yang tidak seimbang.
Bouerdieu membagi kelas menjadi tiga jenis, yaitu, pertama, kelas dominan, ditandai dengan kemelikan modal yang cukup besar. Kelas dominan tidak hanya cukup dengan menunjukkan identitasnya saja, namun juga mampu untuk memaksakan identitasnya kepada kelas lainnya. Memaksakan segala pandangan kelas lainnya mengenai “apa yang baik dan apa yang buruk”. Kedua, kelas borjuasi kecil. Mereka diposisikan ke dalam kelas ini karena memiliki kesamaan sifat dengan kaum borjuasi, yaitu mereka memiliki keinginan untuk menaiki tangga sosial, akan tetapi mereka menempati kelas menengah dalam struktur sosial dalam masyarakat. Cara hidup mereka lebih kepada upaya untuk menaiki tangga sosial daripada untuk memaksakan pandangannya kepada kelas lain. Mereka dapat dikatakan akan lebih banyak melakukan imitasi atau peniruan budaya kelas dominan agar mereka identic dengan kelas dominan. Ketiga, kelas populer. Kelas ini merupakan kelas yang hampir tidak memiliki modal, baik modal ekonomi, modal budaya, maupun modal simbolik. Mereka berada pada posisi yang cenderung menerima dominasi kelas dominan, mereka cenderung menerima apa saja yang dipaksakan kelas dominan kepadanya.
Ketiga kelas tersebut, masing-masing akan berupaya membedakan dirinya dengan kelas lainnya. Praktik inilah yang kemudian disebut Bourdieu sebagai strategi kekuasaan. Hubungan antar kelas, kelas dominan selalu berupaya untuk mempertahankan posisinya agar mampu mendominasi  struktur sosial melalui berbagai mekanisme.

3.     Habitus
Habitus dapat dirumuskan sebagai suatu sistem disposisi-disposisi (skema-skema persepsi pikiran, dan tindakan yang diperoleh dan bertahan lama. Habitus juga merupakan gaya hidup, nilai-nilai, watak, dan harapan kelompok sosial tertentu. sebagian habitus dikembangkan melalui pengalaman. Individu belajar tentang apa yang berada di luar kehidupan, bagaimana mereka berhasil dalam berbagai kegiatan, bagaimana orang lain merespons aktivitas dirinya jika mereka melakukan cara yang tidak biasanya (Haralambos and Holborn, 2004 dalam Martono, 2012:37).
Habitus sebagai sebuah pengondisian yang dikatkan dengan syarat-syarat keberadaan suatu kelas. Habitus merupakan hasil keterampilan yang menjadi tindakan praktis (yang tidak harus disadari) yang kemudian diterjemahkan menjadi sebuah kemampuan yang terlihat alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu.

4.     Kekerasan dan Kekuasaan
Kekerasan dipandang sebagai tindakan aktor atau kelompok aktor. Kekerasan juga dapat dimaknai sebagai sebuah produk atau hasil kerjanya struktur dan sebagai jaringan sosial antara aktor dan struktur. Menurut Bourdieu, kekesaran berada dalam ruang lingkup kekuasaan. Hal tersebut berarti kekesaran merupakan pangkal atau hasil sebuah praktik kekuasaan. Ketika sebuah kelas mendominasi kelas yang lainnya, maka di dalam proses dominasi tersebut akan menghasilkan sebuah kekerasan. Jadi kekerasan dan kekuasaan merupakan dua konsep yang tidak dapat dipisahkan. Modal simbolik merupakan media yang mengantarkan hubungan antara kekuasaan dan kekerasan tersebut.
Kelas dominan memiliki kekuasaan yang digunakan untuk mendominasi kelas yang tidak beruntung, kelas tertindas. Mekanisme kekerasan seperti inilah yang kemudian disebutn sebagai kekerasan simbolik. Makna konsep ini terletak pada upaya aktor-aktor sosial dominan menerapkan suatu makna sosial dan repreesentasi realitas yang diinternalisasikan kepada aktor lain sebagai sesuatu yang alami dan abash, bahkan makna sosial tersebut kemudian dianggap benar oleh aktor lain tersebut.
Kekerasan simbolik merupakan kekerasan yang dilakukan secara paksa untuk untuk mendapatkan kepatuhan yang tidak dirasakan atau disadari sebagai suatu paksaan dengan bersandar pada harapan-harapan kolektif dari kepercayaan-kepercayaan yang sudah tertanam secara sosial. Kekrasan simbolik dilakukan dengan mekanisme “penyembunyian kekerasan” yang dimiliki menjadi sesuatu yang diterima sebagai “yang memang seharusnya demikian”. Proses ini dapat dicapai melaluin proses inkalkulasi atau proses penanaman yang berlangsung secara terus menerus.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar