Kekerasan Simbolik
by : Nursilaningsie, S. Sos
by : Nursilaningsie, S. Sos
Bullying yang dilakukan oleh kalangan pelajar khususnya pelajar pada jengjang
SMP termasuk pada perilku menyimpang yang dilakukan oleh remaja yang biasa
disebut dengan delinquency. Perilaku bullying baik dilakukan secara
fisik, mental dan verbal terhadap seseorang merupakan tindakan yang termasuk
pada fakta sosial. Tentang normal tidaknya perilaku
kenakalan atau perilaku menyimpang, pernah dijelaskan dalam pemikiran Emile
Durkheim (dalam Soerjono Soekanto, 2013: 73). Bahwa perilaku menyimpang atau
jahat kalau dalam batas-batas tertentu dianggap sebagai fakta sosial yang
normal dalam bukunya “ Rules of
Sociological Method” dalam batas-batas tertentu kenakalan adalah normal
karena tidak mungkin menghapusnya secara tuntas, dengan demikian perilaku
dikatakan normal sejauh perilaku tersebut tidak menimbulkan keresahan dalam
masyarakat, perilaku tersebut terjadi dalam batas-batas tertentu dan melihat
pada sesuatu perbuatan yang tidak disengaja. Jadi kebalikan dari perilaku yang
dianggap normal yaitu perilaku nakal/jahat yaitu perilaku yang disengaja meninggalkan
keresahan pada masyarakat. Bullying
termasuk pada perilaku yang sengaja ditujukan kepada orang lain dan menimbulkan
keresahan di dalam norma masyarakat.
Bullying
dikategorikan sebagai perilaku antisosial atau misconduct behavior (Jenkins,
1995; Morton, 1999 dalam Jurnal Penelitian), dengan menggunakan kekuatannya
kepada korban yang lemah, secara individu ataupun kelompok, dan biasanya
terjadi berulang kali (Smith, Cousins, & Stewart, 2005; Mongold, 2006 dalam
jurnal penelitian). Bentuk perilaku tersebut dikatakan sebagai bentuk
deliquincy /kenakalan remaja karena perilaku bullying mayoritas
dilakukan oleh usia akan remaja dan
dalam lingkungan institusi pendidikan yang didalamnya ada nilai dan norma yang
harus ditaati dan jika dilanggang akan memperoleh konsekuensinya.
Bullying termasuk pada perilaku yang menyimpang atau yang
biasa disebut dengan penyimpangan sosial. Menurut Soerjono
Soekanto perilaku menyimpang disebut sebagai salah satu penyakit masyarakat
atau penyakit sosial. Penyakit sosial atau penyakit masyarakat adalah segala
bentuk tingkah laku yang dianggap tidak sesuai, melanggar norma-norma umum,
adat-istiadat, hukum formal, atau tidak bisa diintegrasikan dalam pola
tingkahlaku umum. Disebut sebagai penyakit masyarakat karena gejala sosialnya
yang terjadi ditengah masyarakat itu meletus menjadi ”penyakit”. Dapat disebut
pula sebagai struktur sosial yang terganggu fungsinya.
Bourdieu (dalam Nanang
Martono, 2012:39), kekerasan berada dalam lingkup kekuasaan. Hal tersebut
berarti kekerasan merupakan pangkal atau hasil sebuah praktik kekuasaan. Ketika
sebuah kelas mendominasi kelas yang lain, maka di dalam proses dominasi
tersebut akan menghasilkan sebuah kekerasan. Kekerasan muncul sebagai upaya
kelas dominan untuk melanggengkan dominasi atau kekuasaannya dalam struktur
sosial. Jadi, kekuasaan dan kekerasan merupakan dua konsep yang tidak dapat
dipisahkan. Modal simbolik merupakan media yang mengantarkan hubungan antara
kekuasaan dan kekerasan tersebut. Ketika pemilik modal simbolik menggunakan
kekuataannya yang ditujukan kepada pihak lain yang memiliki kekuasaan yang
lemah, maka pihak lain tersebut akan berusaha mengubah tindakan-tindakannya.
Hal ini menunjukkan terjadinya kekerasan simbolik melalui peran modal simbolik.
Lingkungan
yaitu suatu tempat berinteraksi antar individu maupun antar kelompok untuk
menjalin kebersamaan. Menurut Bourdieu, lingkungan merupakan tempat pertarungan
dan perjuangan, tempat beradu kekuatan, dan tempat di mana adanya konflik
individu atau konflik antar kelompok untuk mendapatkan suatu posisi. Jadi,
kelompok mayoritas menggunakan lingkungan yang ada menjadi tempat mereka
berdominasi dan membentuk suatu kekuasaan serta melakukan kekerasan kepada
kelompok lain.
Untuk
menjelaskan aksi dominasi melalui kekrasan ini, kelas dominan selalu berupaya
agar aksinya tidak mudah untuk dikenali. Untuk itu, mekanisme kekerasan untuk
melanggengkan kekuasaan tersebut harus dilakukan bukan dengan jalan kekerasan
secara fisik yang nyata. Mekanisme kekerasan yang dilakukg digan kelas dominan
dilakukan secara perlahan namun pasti, sehingga kelas terdominasi tidak sadar
dirinya menjadi objek kekerasan. Dengan demikian, kelas dominan memiliki
kekuasaan yang digunakan untuk mendominasi kelas yang tidak beruntung., kelas
tertindas. Mekanisme kekerasan seperti inilah yang disebut dengan kekerasan
simbolik (Nanang Mortono, 2012:39).
Sekolah telah menjadi tempat untuk melakukan praktik-praktik
kekerasan simbolik, misalnya kelas dominasi memberikan habitus kepada kelas
minoritas untuk memakai bahasa yang sama dengan kelas dominan. Jika tidak
mereka (kelas tertindas) akan di bully
oleh kelas dominan karena tidak menerima dan tidak dijalankan habitus
yang diberikan. Perilaku bullying yang dilakukan berupa cemoohan, ejekan
dan kekerasan secara verbal yang menyakitkan hati sehingga berdampak pada
kelompok tertindas tidak mudah bergaul dan merasa minder untuk berteman dengan
kelompok lainnya.
Konsep dasar Bourdieu yang berguna untuk
menjelaskan makna kekerasan simbolik yang kemudian dikaitkan dengan konsep
pendidikan dan sekolah.
1. Modal
Bourdieu menyebut istilah modal sosial (social capital), modal budaya
(cultural capital), dan modal simbolik (symbolic capital).
Modal sosial menunjuk
pada sekumpulan sumber daya yang aktual atau potensial yang terkait dengan
kepemilikan jaringan hubungan saling mengenal dan saling mengakui yang memberi
anggotanya dukungan modal yang dimiliki bersama. Modal sosial dalam bentuk
praktis didasarkan pada hubungan yang relatif tidak terkait seperti pertemanan,
sedangkan dalam bentuk yang terlembagakan, modal sosial terwujud dalam
keanggotaan dalam suatu kelompok yang relatif terikat, seperti: keluarga, suku,
sekolah, dan sebagainya.
Modal budaya menunjuk pada serangkaian kemampuan atau keahlian
individu, termasuk diantaranya adalah sikap, cara bertutur kata, berpenampilan,
cara bergaul, cara bergaul, dan sebagainya. Modal budaya dapat terwujud dalam
tiga bentuk. Pertama, dalam kondisi “menubuh”, modal budaya dapat berupa
disposisi. Modal ini dipengaruhi melalui proses “penubuhan” dan internalisasi
yang membutuhkan waktu agar diposisi ini dapat menyatu dengan dalam habitus
seseorang. Kedua, dalam kondisi terobjektifikasi, modal budaya terwujud dalam
terwujud dalam benda-benda budaya. Ketiga, dalam kondisi terlembagakan, modal
budaya ini terwujud dalam bentuk khas atau unik, yaitu keikutsertaan dan
pengakuan dari lembaga pendidikan dalam bentuk gelar-gelar akademis atau
ijazah. Cara atau sikap seseorang ketika berhubungan dan memperlakukan orang
lain cukup menjadi cermin kedudukan orang.
Modal simbolik merupakan sebuah bentuk modal yang berasal dari jenis
yang lain, yang disalahkenali bukan sebagai modal yang semena, melainkan
dikendali dan diakui sebagai suatu yang sah dan natural. Menurut Bourdieu modal
simbolik merupakan sumber kekuasaan yang krusial.
2. Kelas
Kelas sebagai kumpulan agen atau aktor yang menduduki posisis-posisi
serupa dan ditempatkan dalam kondisi serupa serta ditundukkan atau diarahkan
pada pengkondisian yang serupa. Individu yang memepunyai dan berada dikedudukan
yang sama tersebut akan memiliki sikap mental atau praktik sosial yang sama.
Menurut Bourdieu, setiap kelas memiliki sikap, selera, kebiasaan, perilaku atau
bahkan modal yang berbeda. Perbedaan ini menyebabkan munculnya hubungan
antarkelas yang tidak seimbang.
Bouerdieu membagi kelas menjadi tiga jenis, yaitu, pertama, kelas
dominan, ditandai dengan kemelikan modal yang cukup besar. Kelas dominan tidak
hanya cukup dengan menunjukkan identitasnya saja, namun juga mampu untuk
memaksakan identitasnya kepada kelas lainnya. Memaksakan segala pandangan kelas
lainnya mengenai “apa yang baik dan apa yang buruk”. Kedua, kelas borjuasi
kecil. Mereka diposisikan ke dalam kelas ini karena memiliki kesamaan sifat
dengan kaum borjuasi, yaitu mereka memiliki keinginan untuk menaiki tangga
sosial, akan tetapi mereka menempati kelas menengah dalam struktur sosial dalam
masyarakat. Cara hidup mereka lebih kepada upaya untuk menaiki tangga sosial
daripada untuk memaksakan pandangannya kepada kelas lain. Mereka dapat
dikatakan akan lebih banyak melakukan imitasi atau peniruan budaya kelas
dominan agar mereka identic dengan kelas dominan. Ketiga, kelas populer. Kelas
ini merupakan kelas yang hampir tidak memiliki modal, baik modal ekonomi, modal
budaya, maupun modal simbolik. Mereka berada pada posisi yang cenderung
menerima dominasi kelas dominan, mereka cenderung menerima apa saja yang
dipaksakan kelas dominan kepadanya.
Ketiga kelas tersebut, masing-masing akan berupaya membedakan dirinya
dengan kelas lainnya. Praktik inilah yang kemudian disebut Bourdieu sebagai
strategi kekuasaan. Hubungan antar kelas, kelas dominan selalu berupaya untuk
mempertahankan posisinya agar mampu mendominasi
struktur sosial melalui berbagai mekanisme.
3. Habitus
Habitus dapat dirumuskan sebagai suatu sistem disposisi-disposisi
(skema-skema persepsi pikiran, dan tindakan yang diperoleh dan bertahan lama.
Habitus juga merupakan gaya hidup, nilai-nilai, watak, dan harapan kelompok
sosial tertentu. sebagian habitus dikembangkan melalui pengalaman. Individu
belajar tentang apa yang berada di luar kehidupan, bagaimana mereka berhasil
dalam berbagai kegiatan, bagaimana orang lain merespons aktivitas dirinya jika
mereka melakukan cara yang tidak biasanya (Haralambos and Holborn, 2004 dalam
Martono, 2012:37).
Habitus sebagai sebuah pengondisian yang dikatkan dengan syarat-syarat
keberadaan suatu kelas. Habitus merupakan hasil keterampilan yang menjadi
tindakan praktis (yang tidak harus disadari) yang kemudian diterjemahkan
menjadi sebuah kemampuan yang terlihat alamiah dan berkembang dalam lingkungan
sosial tertentu.
4. Kekerasan dan Kekuasaan
Kekerasan dipandang sebagai tindakan aktor atau kelompok aktor.
Kekerasan juga dapat dimaknai sebagai sebuah produk atau hasil kerjanya
struktur dan sebagai jaringan sosial antara aktor dan struktur. Menurut
Bourdieu, kekesaran berada dalam ruang lingkup kekuasaan. Hal tersebut berarti
kekesaran merupakan pangkal atau hasil sebuah praktik kekuasaan. Ketika sebuah
kelas mendominasi kelas yang lainnya, maka di dalam proses dominasi tersebut
akan menghasilkan sebuah kekerasan. Jadi kekerasan dan kekuasaan merupakan dua
konsep yang tidak dapat dipisahkan. Modal simbolik merupakan media yang
mengantarkan hubungan antara kekuasaan dan kekerasan tersebut.
Kelas dominan memiliki kekuasaan yang digunakan untuk mendominasi kelas
yang tidak beruntung, kelas tertindas. Mekanisme kekerasan seperti inilah yang
kemudian disebutn sebagai kekerasan simbolik. Makna konsep ini terletak pada
upaya aktor-aktor sosial dominan menerapkan suatu makna sosial dan
repreesentasi realitas yang diinternalisasikan kepada aktor lain sebagai
sesuatu yang alami dan abash, bahkan makna sosial tersebut kemudian dianggap
benar oleh aktor lain tersebut.
Kekerasan simbolik merupakan kekerasan yang dilakukan secara paksa
untuk untuk mendapatkan kepatuhan yang tidak dirasakan atau disadari sebagai suatu
paksaan dengan bersandar pada harapan-harapan kolektif dari
kepercayaan-kepercayaan yang sudah tertanam secara sosial. Kekrasan simbolik
dilakukan dengan mekanisme “penyembunyian kekerasan” yang dimiliki menjadi
sesuatu yang diterima sebagai “yang memang seharusnya demikian”. Proses ini
dapat dicapai melaluin proses inkalkulasi atau proses penanaman yang
berlangsung secara terus menerus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar