Jumat, 28 Februari 2020

Prespektif orang tua dalam memilih calon menantu


Prespektif orang tua dalam memilih calon menantu

Segala pembahasaan pernikahan adalah merupakan hal yang rumit dan menarik untuk dibicarakan, baik hubungan pra-nikah, proses dan tahapan setelah pernikahan itu. Menikah, apa itu sebuah pilihan atau kewajiban ?, bila kita melihat dan mengacu pada nilai dan norma yang berlaku menikah merupakan hak dan kewajiban tentunya. Namun meski demikian pernikahan bukan suatu hal yang mudah untuk dijalankan, bahkan kalau saya berbicara mengenai prosesnya pun pasti begitu rumit dan saya pun tidak akan sanggup membayangkannya.
Oke, jadi dalam hal ini saya akan mencoba menklasifikasikan apa yang dapat saya dapat ambil dari berbagai pengalaman seseorang disekitar saya, karena saya sendiri pun belum mengalami hal tersebut. sebagaimana hal dengan kesadaran saya ini hanya mengutarakan pendapat dan argumentasi yang ada dalam pemikiran saya, dan dipersilakan saling membagi argumentasinya kemudian.
Benar atau tidaknya, pernikahan menyangkut mengenai berbagai aspek. Untuk hal ini saya hanya meninjau dari aspek orang tua saja. Kenapa demikian karena mereka bisa menjadi faktor penentu hubungan kita bisa lanjut pada pelaminan atau hanya sebatas menjalin hubungan saja. Sebagaimana hal ini setiap orang tua memiliki standart yang berbeda tergantung pada ideologi apa yang sedang mereka anut. Ada beberapa hal besar yang bisa kita garis bawahi, yakni agama, duniawi, hati dan apatis. Oke, akan saya kupas sedikit mengenai hal itu;
·        
 
   Pertama mengenai agama,  pada konteks ini orang tua sangat mempertimbangkan pada akhlaq, kesantunan, etika, religiusitas, maupun hafalan al qur’an (bagi agama islam). Lohh kok akhlaq santun dan etika bisa masuk ranah agama, karena menurut saya semua nilai dan norma itu diatur dalam agama kita masing- masing (secara tidak langsung) dan hanya dimodifikasi sedemikian rupa disesuaikan dengan kondisi lingkungan yang ada. orang tua yang demikian tentu apapun pekerjaan anda tidak akan dipermasalahkan pokoknya agama anda itu baik, pasti urusan rumah tangga akan baik- baik saja. Orang yang punya sudut pandang ke arah agama, lebih legowo dari aspek apapun itu kecuali mereka yang memiliki rasa dengki, benci dan sifat setan lainnya. kenapa demikian, karena bagi saya motif didalam diri mereka kurng tulus, tapi kalau mereka benar- benar tulus maka tidak akan diungkit- ungkit dan dijalani lah sebuah kehidupan dengan rasa ridho.
            Sebagaimana seorang perempuan dilnikahi dengan mahar bacaan surat dalam al quran dirasa lebih dari cukup dari pada uang segunung. Meski demikian itu juga perlu (uang), tapi agama tetap nomer satu. Karena saat kamu mencari agama (ridho allah) kamu bisa mendapatkan segalanya tapi jika kamu hanya mencari harta, keturunan, atau rupa maka kamu hanya mendapatkan salah satunya saja, tidak semuanya. Orang tua yang mencarikan pasangan anaknya atas dasar agama merupakan orang tua yang sedang mendidik anaknya agar tidak salah pilih (bagi orang tua itu) namun terkadang rasa pada si anak berbeda (tergantung sikap penerimaan si anak). Karena bagi mereka agama adalah kunci kesuksesan ke masa depan dan menjadi pegangan kelak agar terjauh dari mala petaka duniawi yang semakin kacau atas di sampingkannya nilai dan norma yang ada.

     Kedua, pada aspek duniawi, tentu kalian sudah tau maksud arah semua ini, harta, tahta, popularitas, gelar dan lain sebagainya. beda paham beda pula apa yang anda pikirkan, sebagaimana dalam etika protestan ; agar mereka bisa masuk surga adalah dengan cara memiliki kekayaan yang cukup sehingga tidak salah mereka selalu berusaha lebih untuk mendapatkan kekayaan yang berlimpah. Karena setelah mati pun mereka memiliki paham bahwa kekayaan yang ada bisa mereka bawa kelak untuk menyelamatkan mereka. silakan baca dan pahami etika protestan milik marx webber (kalau tidak salah shh, saya sudah lupa). namun hal yang saya bahas tidak mengenai teori itu sihh, lebih mengarah pada orang tua yang lebih memilihkan anaknya untuk mencari kebutuhan hidup yang mapan dan lebih baik.
               Bagi seseorang yang belum mapan terkadang mendengar perkataan calon mertua “sudah kerja dimana”, “sudah punya usaha apa”, “sudah punya rumah sendiri belum” hanya akan menjadikan kita ciut nyali. Faktor penentu atau standart mereka adalah mereka sendiri, dalam artian setidaknya anda dalam melamar bisa menentukan siapa lawan anda dan posisi anda, jika anda seorang guru tapi melamar anak pejabat/ pengusaha yang memiliki pedoman kekayaan maka ya baca saja al fatihah sebanyak- banyaknya sebelum bertemu (just kiding). Mereka hanya bertolak ukur atas dirinya sendiri sebagaimana ia melihat apakah anaknya bila menjalin hubungan dengannya bisa hidup lebih baik dari diri mereka saat itu.
               Apa itu salah? Tentu tidak, tidak ada yang salah dalam pola pikir seperti itu karena standart hidup mereka tentu berbeda- beda. mereka hanya tidak ingin anak mereka memiliki kehidupan yang layak. Lantas bagaimana dengan etika bagi mereka yang memiliki duniawi tersebut, maka mereka akan lebih selektif tentunya (bagi yang berhati- hati). Ini hanya sebatas seberapa mampu anda dalam mencukupi kehidupan anaknya kelak, belum lagi jika anda ditanyai gelar yang anda punya. Karena sebagian orang tua juga memiliki pola pikir semakin tinggi gelar calon menantu semakin prestise baginya untuk dibanggakan dalam masyarakat. ahh mungkin pada konteks itu kita bisa bahas lain kali yang lebih mendetail saja. Tentu akan lebih panjang jika kupas satu persatu bukan perbagian seperti pola pikir kacau saya ini.
               Proses restu dari orang tua memang begitu rumit, banyak yang harus mereka pertimbangkan dan mereka pikirkan, karena itu tidak hanya berdampak pada anak mereka melainkan juga pada diri mereka sendiri. sebagaimana hal tersebut hubungan keluarga tidak hanya menjalin antara keluarga kecil (ayah, ibu dan anak) melainkan juga keluarga besar nantinya. Sesuatu yang sulit untuk dijelaskan dan dipahami jika kita hanya mendengarkan dan membaca namun kita tidak menjalani. Sebagaimana yang pasti motif dan perilaku setiap orang itu berbeda- beda dan mereka pun punya karakter yang unik.

     Mungkin faktor ketiga dan keempat ini akan lebih baik dikupas menjadi satu dikarenakan ini hanya pada metode perbandingan saja. Dimana si satu orang tua lebih ke arah hati (pokok si anak itu suka sama si calon) atau lebih bersikap apatis (tidak peduli dia menikah atau menjalin hubungan dengan siapa pokok dia menikah). Pada dasarnya pola ini lebih memasyarahkan hubungan si anak itu sendiri, mereka tidak turut ambil peran dalam memilih pasangan, karena si anak dirasa telah mampu memilih pasangannya sendiri. entah itu dari hati (yang dirasa cocok) atau pokok nikah (hal ini biasanya tuntutan nilai dan norma masyarakat dan sudah mentok umur).
            Bukannya orang tua lepas kendali atas pemilihan jodoh si anak, tapi mereka lebih sudah yakin akan pilihan si anak tersebut dan tidak meragukan kualitasnya lagi. tidak memperdulikn golongan yang baik / buruk, kaya / miskin, se-agama/ beda agama, pokoknya bagi mereka yakin saja. Memang susah bila melihat realitas ini, jika memang demikian yang memiliki standart adalah si anak itu sendiri bukan orang tua. Orang tua hanya sebatas memberi restu saja (perantaranya gusti allah) bukan sebagai dewan pertimbangan.


Dapat dikatakan proses orang tu dalam memberi restu ini sangat rawan tentunya, mereka memiliki kriteria dan si anak juga ada kriteria pula, bila kita lihat jika si anak dan si orang tua saling memiliki kriteria yang berbeda tentu akan terjadi konflik ideologi, namun jika si anak sudah di doktrin sejak kecil jika dalam memilih pasangan harus seperti ini seperti itu tentu akan aman- aman saja. Loh kok sudah bisa di doktrin, memang bisa ya,..? mungkin kalian sendiri tidak tau kapan hal itu terjadi tapi sadarlah hal itu memang ada dalam pendidikan orang tua kita dalam membentuk karakter kita saat ini. Bahkan pola pikir untuk mencari pasangan bisa mengacu pada teman sekitar kita, itu hegemoni nyata dalam berteman.

Mungkin itu yang dapat saya utarakan apa yang ada dalam pola pikir saya, mungkin lain kali akan dibahas lebih mendetail lagi, sebagaimana untuk menambah kreativitas penulis dalam berkhayal. Karena kayalan itu terkadang bisa lebih indah dan mengenaskan dari pada realita nya, disebabkan unsur drama yang dilebih- lebihkan dari realitas yang nyata. Sekian dan terima kasih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar