Prespektif
orang tua dalam memilih calon menantu
Segala pembahasaan pernikahan
adalah merupakan hal yang rumit dan menarik untuk dibicarakan, baik hubungan
pra-nikah, proses dan tahapan setelah pernikahan itu. Menikah, apa itu sebuah
pilihan atau kewajiban ?, bila kita melihat dan mengacu pada nilai dan norma
yang berlaku menikah merupakan hak dan kewajiban tentunya. Namun meski demikian
pernikahan bukan suatu hal yang mudah untuk dijalankan, bahkan kalau saya
berbicara mengenai prosesnya pun pasti begitu rumit dan saya pun tidak akan
sanggup membayangkannya.
Oke, jadi
dalam hal ini saya akan mencoba menklasifikasikan apa yang dapat saya dapat ambil
dari berbagai pengalaman seseorang disekitar saya, karena saya sendiri pun
belum mengalami hal tersebut. sebagaimana hal dengan kesadaran saya ini hanya
mengutarakan pendapat dan argumentasi yang ada dalam pemikiran saya, dan
dipersilakan saling membagi argumentasinya kemudian.
Benar atau
tidaknya, pernikahan menyangkut mengenai berbagai aspek. Untuk hal ini saya
hanya meninjau dari aspek orang tua saja. Kenapa demikian karena mereka bisa
menjadi faktor penentu hubungan kita bisa lanjut pada pelaminan atau hanya
sebatas menjalin hubungan saja. Sebagaimana hal ini setiap orang tua memiliki
standart yang berbeda tergantung pada ideologi apa yang sedang mereka anut. Ada
beberapa hal besar yang bisa kita garis bawahi, yakni agama, duniawi, hati dan apatis.
Oke, akan saya kupas sedikit mengenai hal itu;
Pertama mengenai agama, pada konteks ini orang tua sangat
mempertimbangkan pada akhlaq, kesantunan, etika, religiusitas, maupun hafalan
al qur’an (bagi agama islam). Lohh kok akhlaq santun dan etika bisa masuk ranah
agama, karena menurut saya semua nilai dan norma itu diatur dalam agama kita
masing- masing (secara tidak langsung) dan hanya dimodifikasi sedemikian rupa
disesuaikan dengan kondisi lingkungan yang ada. orang tua yang demikian tentu
apapun pekerjaan anda tidak akan dipermasalahkan pokoknya agama anda itu baik,
pasti urusan rumah tangga akan baik- baik saja. Orang yang punya sudut pandang
ke arah agama, lebih legowo dari aspek apapun itu kecuali mereka yang memiliki
rasa dengki, benci dan sifat setan lainnya. kenapa demikian, karena bagi saya
motif didalam diri mereka kurng tulus, tapi kalau mereka benar- benar tulus maka
tidak akan diungkit- ungkit dan dijalani lah sebuah kehidupan dengan rasa
ridho.
Sebagaimana
seorang perempuan dilnikahi dengan mahar bacaan surat dalam al quran dirasa
lebih dari cukup dari pada uang segunung. Meski demikian itu juga perlu (uang),
tapi agama tetap nomer satu. Karena saat kamu mencari agama (ridho allah) kamu
bisa mendapatkan segalanya tapi jika kamu hanya mencari harta, keturunan, atau
rupa maka kamu hanya mendapatkan salah satunya saja, tidak semuanya. Orang tua
yang mencarikan pasangan anaknya atas dasar agama merupakan orang tua yang
sedang mendidik anaknya agar tidak salah pilih (bagi orang tua itu) namun
terkadang rasa pada si anak berbeda (tergantung sikap penerimaan si anak).
Karena bagi mereka agama adalah kunci kesuksesan ke masa depan dan menjadi
pegangan kelak agar terjauh dari mala petaka duniawi yang semakin kacau atas di
sampingkannya nilai dan norma yang ada.
Kedua, pada aspek duniawi, tentu kalian sudah
tau maksud arah semua ini, harta, tahta, popularitas, gelar dan lain sebagainya.
beda paham beda pula apa yang anda pikirkan, sebagaimana dalam etika protestan
; agar mereka bisa masuk surga adalah dengan cara memiliki kekayaan yang cukup
sehingga tidak salah mereka selalu berusaha lebih untuk mendapatkan kekayaan
yang berlimpah. Karena setelah mati pun mereka memiliki paham bahwa kekayaan
yang ada bisa mereka bawa kelak untuk menyelamatkan mereka. silakan baca dan
pahami etika protestan milik marx webber (kalau tidak salah shh, saya sudah
lupa). namun hal yang saya bahas tidak mengenai teori itu sihh, lebih mengarah
pada orang tua yang lebih memilihkan anaknya untuk mencari kebutuhan hidup yang
mapan dan lebih baik.
Bagi seseorang yang belum mapan
terkadang mendengar perkataan calon mertua “sudah kerja dimana”, “sudah punya
usaha apa”, “sudah punya rumah sendiri belum” hanya akan menjadikan kita ciut
nyali. Faktor penentu atau standart mereka adalah mereka sendiri, dalam artian
setidaknya anda dalam melamar bisa menentukan siapa lawan anda dan posisi anda,
jika anda seorang guru tapi melamar anak pejabat/ pengusaha yang memiliki
pedoman kekayaan maka ya baca saja al fatihah sebanyak- banyaknya sebelum
bertemu (just kiding). Mereka hanya bertolak ukur atas dirinya sendiri
sebagaimana ia melihat apakah anaknya bila menjalin hubungan dengannya bisa
hidup lebih baik dari diri mereka saat itu.
Apa itu salah? Tentu tidak, tidak ada yang salah dalam pola
pikir seperti itu karena standart hidup mereka tentu berbeda- beda. mereka
hanya tidak ingin anak mereka memiliki kehidupan yang layak. Lantas bagaimana
dengan etika bagi mereka yang memiliki duniawi tersebut, maka mereka akan lebih
selektif tentunya (bagi yang berhati- hati). Ini hanya sebatas seberapa mampu
anda dalam mencukupi kehidupan anaknya kelak, belum lagi jika anda ditanyai
gelar yang anda punya. Karena sebagian orang tua juga memiliki pola pikir
semakin tinggi gelar calon menantu semakin prestise baginya untuk dibanggakan
dalam masyarakat. ahh mungkin pada konteks itu kita bisa bahas lain kali yang
lebih mendetail saja. Tentu akan lebih panjang jika kupas satu persatu bukan
perbagian seperti pola pikir kacau saya ini.
Proses restu dari orang tua memang begitu rumit, banyak
yang harus mereka pertimbangkan dan mereka pikirkan, karena itu tidak hanya
berdampak pada anak mereka melainkan juga pada diri mereka sendiri. sebagaimana
hal tersebut hubungan keluarga tidak hanya menjalin antara keluarga kecil
(ayah, ibu dan anak) melainkan juga keluarga besar nantinya. Sesuatu yang sulit
untuk dijelaskan dan dipahami jika kita hanya mendengarkan dan membaca namun
kita tidak menjalani. Sebagaimana yang pasti motif dan perilaku setiap orang
itu berbeda- beda dan mereka pun punya karakter yang unik.
Mungkin faktor ketiga dan keempat ini akan lebih
baik dikupas menjadi satu dikarenakan ini hanya pada metode perbandingan saja.
Dimana si satu orang tua lebih ke arah hati (pokok si anak itu suka sama si
calon) atau lebih bersikap apatis (tidak peduli dia menikah atau menjalin
hubungan dengan siapa pokok dia menikah). Pada dasarnya pola ini lebih
memasyarahkan hubungan si anak itu sendiri, mereka tidak turut ambil peran
dalam memilih pasangan, karena si anak dirasa telah mampu memilih pasangannya
sendiri. entah itu dari hati (yang dirasa cocok) atau pokok nikah (hal ini
biasanya tuntutan nilai dan norma masyarakat dan sudah mentok umur).
Bukannya orang
tua lepas kendali atas pemilihan jodoh si anak, tapi mereka lebih sudah yakin
akan pilihan si anak tersebut dan tidak meragukan kualitasnya lagi. tidak
memperdulikn golongan yang baik / buruk, kaya / miskin, se-agama/ beda agama,
pokoknya bagi mereka yakin saja. Memang susah bila melihat realitas ini, jika
memang demikian yang memiliki standart adalah si anak itu sendiri bukan orang
tua. Orang tua hanya sebatas memberi restu saja (perantaranya gusti allah)
bukan sebagai dewan pertimbangan.
Dapat dikatakan proses orang tu dalam
memberi restu ini sangat rawan tentunya, mereka memiliki kriteria dan si anak
juga ada kriteria pula, bila kita lihat jika si anak dan si orang tua saling
memiliki kriteria yang berbeda tentu akan terjadi konflik ideologi, namun jika
si anak sudah di doktrin sejak kecil jika dalam memilih pasangan harus seperti
ini seperti itu tentu akan aman- aman saja. Loh kok sudah bisa di doktrin,
memang bisa ya,..? mungkin kalian sendiri tidak tau kapan hal itu terjadi tapi
sadarlah hal itu memang ada dalam pendidikan orang tua kita dalam membentuk
karakter kita saat ini. Bahkan pola pikir untuk mencari pasangan bisa mengacu
pada teman sekitar kita, itu hegemoni nyata dalam berteman.
Mungkin itu yang dapat saya utarakan apa
yang ada dalam pola pikir saya, mungkin lain kali akan dibahas lebih mendetail
lagi, sebagaimana untuk menambah kreativitas penulis dalam berkhayal. Karena kayalan
itu terkadang bisa lebih indah dan mengenaskan dari pada realita nya,
disebabkan unsur drama yang dilebih- lebihkan dari realitas yang nyata. Sekian dan
terima kasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar