SUDUT MATERIALISTIS
ORANG TUA
“Tidak ada orang tua yang ingin
anaknya hidup susah.” Motto tersebut dapat diartikan dalam prespektif yang
bermacam- macam karena hidup susah memiliki arti yang luas. Sebagaimana tidak
menjadi orang kaya, hidup mapan atau bisa dalam berbagai macam hal yang penting
bahagia. Pola pikir yang semacam inilah yang menjadikan kata hidup susah
menjadi momok tersendiri dalam melihat hari kedepan. Termasuk dalam pola
memilih pasangan.
Jelas artikel ini merupakan
lanjutan dari artikel sebelumnya yang menurut saya lingkup pembahasannya
terlalu luas. Untuk itu saya lebih mempersempit pembahasan yang lebih tertuju
pola pemilihan pasangan didasarkan atas unsur duniawi, melihat segalanya dari
harta, jabatan, prestise, maupun kekuasaan semata. Menurut hasil diskusi yang
sudah berjalan; mereka mengatakan hal ini adalah orang yang meterialistis, tapi
bagi saya tidak ada namanya orang materialis bagi mereka yang mampu menyanding/
berjalan selaras dengan orang tersebut. jadi materialis dalam pola pikir saya
hanya batasan semu secara vertikal dalam kelas sosial.
Sebagaimana seseorang tersebut ingin menyandingkan anak mereka dengan orang sederajat maupun sesuai
dengan standart kelas sosial mereka. mereka hanya akan menyandingkan anaknya
dengan yang dirasa cocok dengan standart tapi dan kriteria yang sudah mereka buat dan mengabaikan kriteria si anak itu sendiri, menjadi masalah adalah apakah si anak itu
mampu mencari kriteria yang ditentukan oleh orang tua tersebut, atau lebih
tertarik dengan mereka yang memiliki kelas dibawahnya yang tentunya akan bertentangan dengan kriteria yang disusun oleh orang tua.
Tidak ada yang tau mengenai sebuah rasa kecuali dia sendiri dan tuhannya, maka sebenarnya si orang tua sedang memaksakan kehendak secara tak langsung yang dianggap benar baginya dan belum tentu membuat nyaman si anak.A Adabeberapa prespektif yang harus kita sadari sebenarnya dalam masalah ini. Sebagaimana sebagaian besar adalah masalah duniawi yang sejatinya berhubungan dengan rejeki seseorang. Sebagaimana jabatan, harta, kelas sosial maupun kekuasaan juga termasuk ke dalam rejeki yang diberikan pada seseorang yang tentunya memiliki kadar yang berbeda tiap individunya. Namun mereka (orang tua) selalu memiliki anggapan bahwa rejeki itu harus dicari lebih dan harus lebih baik dari sekarang, terkadang hal itu yang menyebabkan terbentuknya pola pikir yang kedunyan / terlalu keduniawian.
Tidak ada yang tau mengenai sebuah rasa kecuali dia sendiri dan tuhannya, maka sebenarnya si orang tua sedang memaksakan kehendak secara tak langsung yang dianggap benar baginya dan belum tentu membuat nyaman si anak.A Adabeberapa prespektif yang harus kita sadari sebenarnya dalam masalah ini. Sebagaimana sebagaian besar adalah masalah duniawi yang sejatinya berhubungan dengan rejeki seseorang. Sebagaimana jabatan, harta, kelas sosial maupun kekuasaan juga termasuk ke dalam rejeki yang diberikan pada seseorang yang tentunya memiliki kadar yang berbeda tiap individunya. Namun mereka (orang tua) selalu memiliki anggapan bahwa rejeki itu harus dicari lebih dan harus lebih baik dari sekarang, terkadang hal itu yang menyebabkan terbentuknya pola pikir yang kedunyan / terlalu keduniawian.
Tentu kita sadar bahwasannya
rejeki merupakan salah satu takdir dan ketentuan allah yang sudah diatur
kadarnya. Sebagaimana takdir itu ada yang dapat dirubah dan tidak dapat
dirubah. Dalam diskusi yang telah berjalan rejeki itu memiliki 2 posisi dimana
pertama adalah takdir yang bisa dirubah. Sebagaimana yang sering kita ketahui
yakni saat orang miskin bisa menjadi kaya jika mereka berusaha atau saat orang
kaya bisa menjadi miskin bila salah jalan. Namun ada pendapat pula yang
mengatakan bahwa rejeki itu ada takdir yang tidak dapat berubah saat si kaya
akan tetap menjadi kaya atau saat si miskin tetap menjadi miskin.
Namun bagi orang tua mereka hanya
memegang hal dimana si miskin bisa
menjadi kaya, dan si kaya bisa menjadi miskin. Untuk itu para orang tua selalu
berusaha mencarikan atau mengultimatum si anak untuk mendapatkan calon yang
lebih baik atau sekiranya sederajat. Mereka pun mengabaikan kodrat jika si anak nanti menjadi miskin. Mereka Pun bermindset bahwa anak mereka harus menjadi sejahterah dan mampu memberi kecukupan dalam kesehariannya, hal itulah yang coba dituntut untuk memberikan calon pasangan yang mapan dan idaman bagi mereka.
Permasalahannya bila mereka sudah
menikah dan menjalin hubungan tapi nyatanya tidak mampu mengubah nasib mereka yakni
miskin tetap terlihat miskin lantas bagaimana? Atau si kaya tetap malah jatuh miskin lantas apa yang akan mereka perbuat. Bukan karena pola konsep takdir yang akan dihadirkan melainkan ada beberapa hal yang tidak bisa diubah melainkan karena ada beberapa
faktor sehingga ketetapan tersebut terlihat seperti takdir. Ketakutan untuk
menjadi miskin dan kegimbiraan menjadi orang kaya tersebulah yang membuat pola
pikir menjadi kacau. Sebagaimana kalau mereka memikirkan duniawi saja maka
sesungguhnya mereka telah terjebak, tidak ada kata iklas dan syukur dalam hidup
mereka.
Saat anda berada diposisi miskin
dan tetap menjadi miskin jangan salahkan takdir anda yang tidak bisa menjadi
orang kaya, tetapi lihatlah diri anda sebelumnya. Sebagaimana ada beberapa hal
yang menjadikan pintu rejeki itu tertutup dan doa- doa anda selama ini tertahan.
But sejatinya jika kita melihat konteks ini seakan- akan kita benar
terperangkap pada duniawi. Padahal rejeki sebenarnya tidak hanya berdasarkan
kekayaan saja melainkan tetangga, teman yang baik juga termasuk rejeki, bahkan
keluarga yang bahagia dan nyaman juga termasuk rejeki yang tak terhitung
nilainya.
Beda konteks jika saat anda
menikah dan sebelum menikah tetap menjadi kaya. Hal ini sebenarnya harus anda
takutkan, karena saat harta anda tidak digunakan dengan jalan yang benar maka
buntutnya akan tidak enak, namun yang menjadi masalah adalah saat si kaya itu
merasa nyaman dan tidak menyadari akan segala hal yang ganjil. Seperti dia
melakukan maksiat terus menerus tetap kaya dan tidak adanya teguran dari allah.
Maka sebenarnya ia dalam bahaya yang besar, karena sudah di abaikan oleh
tuhannya dan dibiarkan saja menikmati kesemuan duniawi yang ada.
Kehidupan yang sejahtera yang
sangat diimpikan oleh orang tua kita mungkin menjadi bomerang bagi diri kita
sendiri. sebagaimana yang ada sebenarnya kita harus iklas, syukur dan tawakal
terhadap apa yang ada. mungkin orang tua kita menginginkan yang terbaik untuk
diri kita, namun terkadang mereka melupakan berbagai faktor yang menurut saya
sendiri kurang diperhitungkan secara rasional. Tidak ada yang salah terhadap
pola pikir orang tua kita, namun lebih baik kita juga memberikan pemahaman
terhadap mereka. bukan bermaksud menggurui orang yang lebih tua tapi mengingatkan
dalam kebaikan itu perlu dan bertujuan agar keinginan maupun kriteria dalam
kehidupan kita bisa dipertimbangkan mana yang baik dan buruknya. Sebagaimana dialog
tersebut harus berjalan dengan baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar