Review dan
Implemetasi
Pendidikan Kaum
Tertindas
Paulo Freire
Judul :
pendidkan akum tertindas
Hal: 221
halaman
Pada
padangan ini buku ini lebih merefleksikan apa yang telah dikaji oleh freire
dalam kesehariannya. Lebih tepatnya yakni bagaimana dehumanisasi itu tercipta
dan bagaimana humanisasi itu bisa hadir. Pada dasarnya dehumanisasi merupakan
bentuk dari kedaulatan kaum penindas pada kaum tertindas. Sebagaimana bentuknya
ini dimulai dengan belas kasih kaum penindas kepada kaum tertindas yang secara
tidak langsung akan mengadakan pentas omong kosong mengenai kemurahan hati,
dari hal tersebutlah penindasan dimulai. Konsep dehumanisasi ini menghadirkan
dilematis bagi mereka (kaum tertindas) untuk mampu membebaskan diri dari kaum
penindas. Bagi freire kaum penindas tidak akan mampu membebaskan kaum
tertindas, sebelum kaum tertindas sadar akan dirinya sendiri.
Dalam
keadaan seperti itu kaum tertindas tidak akan mampu untuk menjadikan dirinya
manusia seutuhnya. Ada berbagai hal yang mendasari bagi kaum tertindas tidak
bisa lepas dari kaum penindas. Hal semacam itu acapkali diperdaya oleh kaum
penindas untuk melegitimasi kekuasaannya. Sebagaimana kaum tertindas sendiri
merasa takut akan kebebasan yang akan diraih, sedangkan kaum penindas merasa
takut akan kehilangan kaum tertindas. Ketakutan akan kebebasan kaum tertindas
muncul akibat dari pemolaan yang dibentuk oleh kaum penindas. Sebagaimana
pemolaan tersebut dibentuk untuk mengubah kesadararan yang dipola menjadi
sesuai dengan kesadaran pemola. Sehingga memunculkan sikap fatalis bagi kaum
tertindas akan kebebasan yang ingin diraihnya. Hal semacam ini tidak luput pula
dikarenakan ketakutan mereka terhadap resiko yang dihadapi nantinya bila
menentang kaum penindas.
Kaum
tertindas tentu tidak akan mampu lepas dari jerat kaum penindas jikalau mereka
masih tetap mengada kaum penindas tersebut. Mengada dalam hal ini kaum
tertindas itu sendiri menduplikasi, bertindak ataupun mengada apa yang
dilakukan oleh kaum penindas. Hal semacam ini merupakan bentuk dari pelampiasan
atas prihal yang dilakukan oleh kaum penindas kepadanya. Sehingga nilai manusia
yang benar pada pemahaman kaum tertindas adalah seperti yang dilakukan oleh
kaum penindas. Hal semacam inilah yang sebenarnya harus dibenahi oleh para kaum
tertindas.
Sebagaimana
kaum tertindas tersebut dapat keluar dari penindasan atas kesadaran diri mereka
sendiri, bukan atas dasar orang lain. Penindasan tersebut tentunya hanya
dipahami oleh kaum tertindas dan hanya diri merekalah kuncinya. Hal semacam ini
sebenarnya menuntut mereka untuk mampu ataupun berani mengadakan perubahan bagi
diri mereka. Dengan adanya perubahan tersebut kaum tertindas sadar akan
pentingnya sebuah kebebasan dalam dirinya.
Refleksi
pendidikan kaum tertindas ini juga tidak luput dari keseharian kita. Sebagaimana kita dapat milihat pada hubungan
antar murid dengan pendidik pada semua tingkatan. Hal ini tidak terlepas dari
susunan subjek dan objeknya. Pada anggapan tersebut subjek dalam pendidikan ini
adalah seorang guru sedangkan murid diposisikan sebagai objek. Freire menyebut
hal lama ini sebagai pendidikan dengan model bank. Penyebutan tersebut mengacu
pada anggapan bahwa pendidik diposisikan sebagai orang yang memilki pengetahuan
yang mutlak sedangakan murid hanya sebagai tempat deposit atau menabung
ilmutersebut. Hal ini menjadikan tidak adanya
interaksi ataupun komunikasi antara pendidik dan murid tersebut. Hal ini
menunjukkan suatu penindasan sekaligus memperkuat struktur- struktur yang
menindas. Pendidikan menjadi alat dominasi yang dimanfaatkan untuk penjinakkan.
Konsep
banking sendiri kita dapat melihatnya dengan guru mengajar sedangkan murid
diajar, guru mengetahui segala sesuatu sedangkan murid tidak tau apa- apa.
Sehingga hal semacam ini menjadikan tidak adanya komunikasi antara murid dengan
pendidikan yang hanya akan menimbulkan kepasifan sang murid. Hal ini
menunjukkan bahwasannya konsep banking ini mengatur kesadaran terdidik yang
direporduksi oleh pendidik. Lebih parahnya lagi mereka yang ingin membebaskan
kaum tertindas ini adalah mereka yang dahulunya menerima sistem banking ini.
Sehingga serta merta tak luput sistem banking tersebut terus akan terulang hingga
menyadarkan mereka bahwasannya anak
didik bukan sebagai pusat objek namun harus diposisikan sebagai subjek pula.
Pemahaman
sepert ini disebut freire sebagai resolusi akan masalah pendidikan kaum
tertindas. Hal ini disebutnya sebagi konsep hadap masalah(problem solving
education). Konsep ini memposisikan
pendidik dan murid menjadi subjek dan mengkaji objek yang sama. Mereka tentunya
harus secara serempak menjadi murid dan guru. Tidak ada yang terlalu
mendominasi ataupun terdominasi, untuk suatu tujuan belajar yang kondusif dan
lebih baik. Pada prosesnya pendidikan hadap masalah ini lebih pada
melemparkan sebuah realitas yang ada untuk dikaji secara bersama baik antara
pendidik dan terdidik. Sehingga memunculkan dialog antar keduanya, tidak turut
dipungkiri pula objek yang dihadirkan bukan dari pendidik namun berasal dari
murid. Sehingga pendidik pun harus mempersiapkan bahan ajar sebaik mungkin
untuk mampu menunjang keilmuan dari murid tersebut. Sebenarnya peran seorang
pendidikan hadap masalah adalah menciptakan, bersama dengan murid suatu suasana
dimana pengetahuan pada tahap matera (doxa) diganti dengan pengetahuan sejati
pada tahap ilmu (logos).
Pentingnya
hubungan dialogi dalam pendidikan menjadi sangat nyata untuk menghindari
terciptanya kaum tertindas dan penindas baru.
Pada pemahamannya Dialog merupakan kata, kata mempunyai dua dimensi
refleksi dan aksi yang berada dalam
interaksi radikal. Tanpa refleksi hanya akan menjadi aktivisme, dan tanpa aksi
hanya akan terjadi verbalisme. Hanya melalui praktis maupun tindakan sebuah
hubungan dialogis yang baik dapat terlaksana. Dalam dialog tersebut tentu tidak
mungkin timbul di antara manusia yang menyangkal hak untuk berbicara. Dialaog
tidak mungkin pula terjadi diantara manusia yang dirampas haknya untuk ber-kata.
Sebagaimana hal ini dialog menuntut untuk memahami / mempercayai antara satu
dengan lainnya merupakan salah satu kunci dialogis.
Dialog
antar manusia harus berdasarkan pada kepekaan terhadap kemampuan- kemapuan
bawaan didalam setiap manusia untuk menemukan diri sendiri. Dialog
mengadaikan kerendahan hati, yaitu kemauan untuk belajar dari orang lain
meskipun menurut perasaan kebudayaan yang dianggap lebih rendah, memperlakukan
orang lain sederajat, keyakinan orang lain dapat mengajar kita. Pada dasarnya
bila kita melihat orang yang berhubungan tanpa dialogis tentunya seperti halnya
ia memperlakukan mereka seperti objek. Dapat dianalogikan objek mereka seperti
halnya binatang. Pemahaman ini muncul dikarenakan sifatnya yang sekiranya ia
tidak mampu membedakan antara tindakannya dengan diri sendiri selain itu tidak
mampu merefleksikannya, hal semacam inilah yang sering kali dilakukan oleh
binatang dalam memposisikan sebagai objek.
Hubungan
yang dialogis kini tentunya meruapakn titik tolak untuk menciptakan penyusunan program pendidikan adalah situasi
yang eksistensial dan konkret. Sebagaimana perna yang dilakukan oleh freirre
dengan tahapannya dimulai dengan pengenalan aksara hingga pada sesuda kenal
aksara, dalam hal ini freirre mengenalkan kata- kata yang digunakan oleh
kelompok masyarakat setempat. Kemudian menyusun daftar kata- kata generatif,
dari yang paling mudah hingga sukar, kemudian tidak lupa aspek sosial politik,
ekonomi dan kultural disangkutpautkan dalam kehidupan mereka. Hal ini
diciptakan situasi eksistensial mengguanakan bahan- bahan visual yang mempunyai
nilai artistik. Makna- makna yang diciptakan dari kata- kata tersebut disajikan
dalam masyarakat hingga mereka mudah memahaminya.
Pada
permasalahan konsep dialogis akan selalu ada antidialogis. Tindakan
antidialogis ini merupakan bentuk dari kuasa kaum dominan ataupun penindas.
Sebagaimana tindakan antidialogis ditandai dengan usaha menguasai manusia,
membuat manusia tunduk dan pasif, menyesuaikan diri dengan keadaan, sehingga
tetap tinggal tertindas. Hal ini menjadikan kuasa dari kaum penindas lebih
ketara dan dapat dirasakan oleh kaum tertindas. Pada dasarnya penciptaan
antidialogis ini menghambat seseorang untuk berpikir secara kritis terhadap apa
yang ada dihadapi. Sehingga ia terkukung dengan apa yang dirasa benar oleh
penindas. Secara tidak langsung antidialogis ini merupakan bentuk penjajahan
kebebasan yang dimiliki oleh individu untuk mampu berkembang kearah yang lebih
baik. Antidialogis tentu berbeda dengan dialogis. Sebagaimana ini banyak hal
yang sekiranya ditunjukkan dialogis yang bertentangan pada antidialogis.
Penyeruan kebebasan dan berpikir kritis merupakan salah satunya.
Contoh
masalah yang ada:
Pada
konteks permasalahan pendidikan ini merupakan imbas dari ketidak adanya keadilan
perlukuan antara siswa didik dengan pendidik. Sebagaimana seringkali pendidik
merasa mendewakan dirinya sendiri karena kecukupan akan pengetahuan. Sehingga
ia berhak melakukan apapun kepada siswa didik agar mampu menjadi lebih baik
menurut pendidik tersebut. Siswa pun hanya menuruti akan perintah guru tersebut
karena dikdaya pendidik yang menganggap dirinya teragungkan. Hal ini terus
menerus diproduksi siswa tersebut. Mulai pada mengenal bangku sekolah hingga
memasuki era perkulian hal semacam itu terus saja terjadi.
Pada
sifatnya ini pendidik memiliki upaya untuk mampu memajukan siswa- siswa
tersebut dengan ilmu yang dimiliki. Namun cara yang digunakan oleh pendidik itu
sendiri dapat dikatakan salah. Sejak dari dulu siswa hanya dituntut untuk
menghafal bukan memahami apa yang dilakukan oleh guru tersebut. Terlebih pendidik
tersebut tidak memberikan ruang bagi anak didiknya untuk berkreasi lebih menanyakan prihal-
prihal yang sukar. Anak didik hanya diajarkan diam, menyimak, dan mengejarkan
apa yang pendidik perintahkan kepadanya.
Pada
waktu sekolah dasar kita tentu perna diajarikan untuk mengeja. Sebagaimana
bentuk bahan bacaan yang dikaji merupakan teks book ataupun hal yang sekiranya
ada dibuku namun benda itu tidak perna dilihat secara langsung oleh siswa. Hal
ini seringkali pendidik tidak memiliki inovasi dalam pengajaran, mereka
menerapkan dengan apa yang ada dibuku dan membacakan sesuai buku. Sebagaimana
anak yang diajarkan tersebut tentunya tidak mampu memahami secara jelas bila
tidak ada benda nyatanya. Pada konteksnya adalah anak- anak SD yang berada
dikelas 1-3. Hal ini menunjukkan siswa hanya diberi ilmu namun tidak ada
komunikasi yang intens didalamnya. Siswa hanya menerima apa yang diberikan oleh
gurunya tanpa rasa igin tau untuk bertanya. Ketidak adanya penginovasian dalam
pembelajaran ataupun trik khusus pendidik untuk memancing siswa tersebut
bertanya menciptakan hubungan antidialogis dan sistem bank.
Proses
penerimaan pendidikan dari awal ini menjadikan tolak ukur siswa dalam bertindak
selanjutnya. Sehingga secara siswa memproduksi apa –apa yang diterima dari awal
ini. Ketergantungan siswa pada pendidik merupakan refleksi dari ketertindasan
siswa tersebut pada pendidik. Meskipun secara tidak langsung pendidik itu ingin
merentas siswanya dalam ketertindasan menuju kebebasan. Namun tanpa adanya
kesadaran dan proses belajar yang salah pada siswa membuat hal tersebut sulit
dilakukan.
Selain
pada waktu sekolah dasar penindasan lebih parah terjadi pada waktu memasuki
bangku sekolah menengah atas, lebih tepatnya penindasan tersebut terjadi pada
beberapa orang pendidik yang ambisius. Sebagaimana pemahaman penulis
pendidiknya tidak memiliki cakupan keilmuan yang cukup maupun pendidik memiliki
obsesi lebih pada siswa didiknya agar mampu menjadi seperti halnya dirinya.
Pada kasusnya yang hal ini pendidik memiliki keterbatasan ilmu yang menjadikan
kurangnya hubungan dialogis antara siswa dan pendidik. Hal ini hanya akan
memunculkan antidialogis pendidik terhadap siswa sehingga pendidik tersebut
sewenang- wenang pada siswanya. Pendidik tersebut menerapkan ilmu yang
dipahaminya lantas siswa hanya menghafal apa yang ditulis ataupun diucapkan
oleh pendidik. Sedangkan pada saat siswa tersebut tidak paham pendidik hanya
menampung pertanyaan siswa tersebut tidak memberikan penjelasan yang baik pada
siswa. Selain itu bila tidak ada kesuain dengan pendidik siswa dimarahi dengan
alasan yang berbagai macam. Hal ini memunculkan sikap antidialogis pada siswa.
Pada
pemahaman siswa yang diperlakukan hal semacam itu berulangkali menyebabkan
dirinya tidak ingin menanyakan hal hal pada pendidik yang dikiranya tidak
merespon secara baik permasalahan siswa tersebut. Konsekuensinya siswa- siswa
lain juga memulai anggapan yang sama bahwasannya pendidik tidak paham apa yang
diajarkan dan murid kini hanya mengiyakan apa yang dikatan oleh pendidik
terlebih ia menyesuaikan dengan pendidik tersebut. Penciptaan pendidikan
antidialogis secara tidak langsung menimbulkan sistem pendidikan banking dan
membuat siswa lebih pasif. Siswa tersebut hanya diberikan ilmunya saja tanpa
adanya komunikasi antar dua pihak yang terkait (pendidik- terdidik). Konsep
yang diperlihatkan dalam sistem banking, siswa
Guru mengajar - murid diajar, Guru bercerita - murid patuh mendengarkan,
Guru berbuat - murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan gurunya,
Guru memilih bahan dan isi pelajaran - murid menyesuaikan diri dengan pelajaran
itu, dan lain sebagainya.
Hasilnya
siswa acapkali tidak paham dengan mata pelajaran yang diajarkan oleh pendidik. Sehingga
menjelaskan model pendidikan semacam itu tidak efektif. Dikarenakan siswa hanya
disuruh menghafal tanpa dipraktikkan secara langsung. Maupun hal ini disebabkan
kerena tidak ada respon yang baik oleh pendidik kepada siswanya.
Pada
tingkat yang lebih tinggi yakni mencapai perguruan tinggi, siswa dirasa mulai
dibebaskan berpikir. Sebagaiman mulai menciptakan hubungan dialogis yang
membaik bagi siswa tersebut. Banyak metode pembelajaran yang sekiranya mampu
memancing siswa tersebut untuk bertanya. Namun hal ini sekiranya kurang
mendapat respon yang baik bagi mahasiswa tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan
jarangnya siswa untuk menanyakan sesuatu pada dosen mata kuliah. Hal ini adalah
bentuk imbas dari pendidikan masa lalu yang terlalu mengekang pola pemikiran
siswa hingga terbawa pada era mahasiswa ini. Dalam konsep freire ini
menunjukkan bahwa mahasiswa tersebut belum mampu terlepas dari penindasan masa
lalunya. Meskipun sudah ada reaksi yang baik bagi pendidik tersebut.
Ketidak
mampuan satu mahasiswa terlepas dari penindasan tersebut membuat mahasiswa lain
juga mulai merasakan hal yang sama. Hal ini berbagai macam pendidik melakukan
komunkasi pada mahasiswanya baik secara personal maupun kelompok. Sebagaimana
sering dilakukan diskusi maupun sharing- sharing antara dosen dan mahasiswa
baik dalam kampus ataupun diluar kampus untuk mencari solusi masalah yang
dihadapi tersebut. Pada solusi yang dihadirkan dosen pada mahasiswa tersebut
dengan cara mengadakan sebuah diskusi, ataupun melemparkan pertanyaan pada mahasiswa
dengan bahan acuan pembelajaran. Sehingga secara tidak langsung dosen telah
memposisikan mahasiswa bukan lagi objek namun telah menjadi subjek. Dengan
menjadikan siswa subjek tentunya bahan ajar yang ada dikaji secara bersama-
sama. Sebagaimana proses belajar mengajar tersebut berjalan dengan baik tentu
tidak luput dikarenakan dosen tidak menempatkan posisinya sebagai kelas yang
dominan. Dosen juga belajar pada masalah yang dilontarkan oleh siswa tersebut.
Sebagaimana
hal ini cara pengajaran lebih diarahkan dengan melempaskan sebuah permasalahan
yang umum pada mahasiswa untuk dikaji secara bersama- sama. Pada pandangan
freire ini dikatakan sebagai problem solving education ataupun pendidikan hadap
masalah. Sehingga mahasiswa tersebut memahami apa yang dipelajari dengan
masalah- masalah yang ada di masyarakat tersebut. Selain itu mereka juga mampu
mengembangkan imajinasi mereka prihal maslah- maslaha dan mereduksi solusi yang
ada. Tentunya hal ini mereka harus mampu berpikir secara kritis terhadap maslaha
tersebut. Hal inilah yang coba ditunjukkan oleh freire dengan membebaskan
mereka dalam berpikir. Sebagaimana ini dengan memahami realitas yang ada
tentunya pada pandangan dari mahasiswa sendiri lebih mudah untuk dipahami dan
tidak lagi hanya sekedar menerawang yang belum jelas. Tapi sudah pada tahap
pemahaman realitas yang ada.
Pada
dasarnya pendidikan kaum tertindas ini mencoba merefleksikan apa yang coba
dialami oleh kaum tertindas. Bahwasannya mereka sedang diperbudak oleh kaum
dominan untuk mereproduksi apa yang mereka lakukan. Sebagaimana pada pandangan
freire hal tersebut harus dihilangkan karena tidak adanya kebebasan dalam
pilihan mereka. Tentunya dengan anggapan hal tersebut tidak memanusiakan
manusia itu sendiri (dehumanisasi). Sehingga menyebabkan prihal freire lebih
mencondongkan pada hal – hal yang membebaskan mereka dengan bergabagai konsep
yang sekiranya lebih humanistis. Mulai dari pendidikan hadap masalah, dialogis,
dan emncoba menghilangkan budaya bisu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar