Jumat, 03 Agustus 2018

Review dan Implemetasi Pendidikan Kaum Tertindas Paulo Freire



Review dan Implemetasi
Pendidikan Kaum Tertindas
Paulo Freire

Hasil gambar untuk pendidikan kaum tertindas

Judul : pendidkan akum tertindas
Hal: 221 halaman

Pada padangan ini buku ini lebih merefleksikan apa yang telah dikaji oleh freire dalam kesehariannya. Lebih tepatnya yakni bagaimana dehumanisasi itu tercipta dan bagaimana humanisasi itu bisa hadir. Pada dasarnya dehumanisasi merupakan bentuk dari kedaulatan kaum penindas pada kaum tertindas. Sebagaimana bentuknya ini dimulai dengan belas kasih kaum penindas kepada kaum tertindas yang secara tidak langsung akan mengadakan pentas omong kosong mengenai kemurahan hati, dari hal tersebutlah penindasan dimulai. Konsep dehumanisasi ini menghadirkan dilematis bagi mereka (kaum tertindas) untuk mampu membebaskan diri dari kaum penindas. Bagi freire kaum penindas tidak akan mampu membebaskan kaum tertindas, sebelum kaum tertindas sadar akan dirinya sendiri.
Dalam keadaan seperti itu kaum tertindas tidak akan mampu untuk menjadikan dirinya manusia seutuhnya. Ada berbagai hal yang mendasari bagi kaum tertindas tidak bisa lepas dari kaum penindas. Hal semacam itu acapkali diperdaya oleh kaum penindas untuk melegitimasi kekuasaannya. Sebagaimana kaum tertindas sendiri merasa takut akan kebebasan yang akan diraih, sedangkan kaum penindas merasa takut akan kehilangan kaum tertindas. Ketakutan akan kebebasan kaum tertindas muncul akibat dari pemolaan yang dibentuk oleh kaum penindas. Sebagaimana pemolaan tersebut dibentuk untuk mengubah kesadararan yang dipola menjadi sesuai dengan kesadaran pemola. Sehingga memunculkan sikap fatalis bagi kaum tertindas akan kebebasan yang ingin diraihnya. Hal semacam ini tidak luput pula dikarenakan ketakutan mereka terhadap resiko yang dihadapi nantinya bila menentang kaum penindas.
Kaum tertindas tentu tidak akan mampu lepas dari jerat kaum penindas jikalau mereka masih tetap mengada kaum penindas tersebut. Mengada dalam hal ini kaum tertindas itu sendiri menduplikasi, bertindak ataupun mengada apa yang dilakukan oleh kaum penindas. Hal semacam ini merupakan bentuk dari pelampiasan atas prihal yang dilakukan oleh kaum penindas kepadanya. Sehingga nilai manusia yang benar pada pemahaman kaum tertindas adalah seperti yang dilakukan oleh kaum penindas. Hal semacam inilah yang sebenarnya harus dibenahi oleh para kaum tertindas.
Sebagaimana kaum tertindas tersebut dapat keluar dari penindasan atas kesadaran diri mereka sendiri, bukan atas dasar orang lain. Penindasan tersebut tentunya hanya dipahami oleh kaum tertindas dan hanya diri merekalah kuncinya. Hal semacam ini sebenarnya menuntut mereka untuk mampu ataupun berani mengadakan perubahan bagi diri mereka. Dengan adanya perubahan tersebut kaum tertindas sadar akan pentingnya sebuah kebebasan dalam dirinya.
Refleksi pendidikan kaum tertindas ini juga tidak luput dari keseharian kita.  Sebagaimana kita dapat milihat pada hubungan antar murid dengan pendidik pada semua tingkatan. Hal ini tidak terlepas dari susunan subjek dan objeknya. Pada anggapan tersebut subjek dalam pendidikan ini adalah seorang guru sedangkan murid diposisikan sebagai objek. Freire menyebut hal lama ini sebagai pendidikan dengan model bank. Penyebutan tersebut mengacu pada anggapan bahwa pendidik diposisikan sebagai orang yang memilki pengetahuan yang mutlak sedangakan murid hanya sebagai tempat deposit atau menabung ilmutersebut. Hal ini menjadikan tidak adanya  interaksi ataupun komunikasi antara pendidik dan murid tersebut. Hal ini menunjukkan suatu penindasan sekaligus memperkuat struktur- struktur yang menindas. Pendidikan menjadi alat dominasi yang dimanfaatkan untuk penjinakkan.
Konsep banking sendiri kita dapat melihatnya dengan guru mengajar sedangkan murid diajar, guru mengetahui segala sesuatu sedangkan murid tidak tau apa- apa. Sehingga hal semacam ini menjadikan tidak adanya komunikasi antara murid dengan pendidikan yang hanya akan menimbulkan kepasifan sang murid. Hal ini menunjukkan bahwasannya konsep banking ini mengatur kesadaran terdidik yang direporduksi oleh pendidik. Lebih parahnya lagi mereka yang ingin membebaskan kaum tertindas ini adalah mereka yang dahulunya menerima sistem banking ini. Sehingga serta merta tak luput sistem banking tersebut terus akan terulang hingga menyadarkan mereka bahwasannya  anak didik bukan sebagai pusat objek namun harus diposisikan sebagai subjek pula.
Pemahaman sepert ini disebut freire sebagai resolusi akan masalah pendidikan kaum tertindas. Hal ini disebutnya sebagi konsep hadap masalah(problem solving education).  Konsep ini memposisikan pendidik dan murid menjadi subjek dan mengkaji objek yang sama. Mereka tentunya harus secara serempak menjadi murid dan guru. Tidak ada yang terlalu mendominasi ataupun terdominasi, untuk suatu tujuan belajar yang kondusif dan lebih baik.  Pada prosesnya  pendidikan hadap masalah ini lebih pada melemparkan sebuah realitas yang ada untuk dikaji secara bersama baik antara pendidik dan terdidik. Sehingga memunculkan dialog antar keduanya, tidak turut dipungkiri pula objek yang dihadirkan bukan dari pendidik namun berasal dari murid. Sehingga pendidik pun harus mempersiapkan bahan ajar sebaik mungkin untuk mampu menunjang keilmuan dari murid tersebut. Sebenarnya peran seorang pendidikan hadap masalah adalah menciptakan, bersama dengan murid suatu suasana dimana pengetahuan pada tahap matera (doxa) diganti dengan pengetahuan sejati pada tahap ilmu (logos).
Pentingnya hubungan dialogi dalam pendidikan menjadi sangat nyata untuk menghindari terciptanya kaum tertindas dan penindas baru.  Pada pemahamannya Dialog merupakan kata, kata mempunyai dua dimensi refleksi  dan aksi yang berada dalam interaksi radikal. Tanpa refleksi hanya akan menjadi aktivisme, dan tanpa aksi hanya akan terjadi verbalisme. Hanya melalui praktis maupun tindakan sebuah hubungan dialogis yang baik dapat terlaksana. Dalam dialog tersebut tentu tidak mungkin timbul di antara manusia yang menyangkal hak untuk berbicara. Dialaog tidak mungkin pula terjadi diantara manusia yang dirampas haknya untuk ber-kata. Sebagaimana hal ini dialog menuntut untuk memahami / mempercayai antara satu dengan lainnya merupakan salah satu kunci dialogis.
Dialog antar manusia harus berdasarkan pada kepekaan terhadap kemampuan- kemapuan bawaan  didalam  setiap manusia untuk menemukan diri sendiri. Dialog mengadaikan kerendahan hati, yaitu kemauan untuk belajar dari orang lain meskipun menurut perasaan kebudayaan yang dianggap lebih rendah, memperlakukan orang lain sederajat, keyakinan orang lain dapat mengajar kita. Pada dasarnya bila kita melihat orang yang berhubungan tanpa dialogis tentunya seperti halnya ia memperlakukan mereka seperti objek. Dapat dianalogikan objek mereka seperti halnya binatang. Pemahaman ini muncul dikarenakan sifatnya yang sekiranya ia tidak mampu membedakan antara tindakannya dengan diri sendiri selain itu tidak mampu merefleksikannya, hal semacam inilah yang sering kali dilakukan oleh binatang dalam memposisikan sebagai objek.
Hubungan yang dialogis kini tentunya meruapakn titik tolak untuk menciptakan  penyusunan program pendidikan adalah situasi yang eksistensial dan konkret. Sebagaimana perna yang dilakukan oleh freirre dengan tahapannya dimulai dengan pengenalan aksara hingga pada sesuda kenal aksara, dalam hal ini freirre mengenalkan kata- kata yang digunakan oleh kelompok masyarakat setempat. Kemudian menyusun daftar kata- kata generatif, dari yang paling mudah hingga sukar, kemudian tidak lupa aspek sosial politik, ekonomi dan kultural disangkutpautkan dalam kehidupan mereka. Hal ini diciptakan situasi eksistensial mengguanakan bahan- bahan visual yang mempunyai nilai artistik. Makna- makna yang diciptakan dari kata- kata tersebut disajikan dalam masyarakat hingga mereka mudah memahaminya.
Pada permasalahan konsep dialogis akan selalu ada antidialogis. Tindakan antidialogis ini merupakan bentuk dari kuasa kaum dominan ataupun penindas. Sebagaimana tindakan antidialogis ditandai dengan usaha menguasai manusia, membuat manusia tunduk dan pasif, menyesuaikan diri dengan keadaan, sehingga tetap tinggal tertindas. Hal ini menjadikan kuasa dari kaum penindas lebih ketara dan dapat dirasakan oleh kaum tertindas. Pada dasarnya penciptaan antidialogis ini menghambat seseorang untuk berpikir secara kritis terhadap apa yang ada dihadapi. Sehingga ia terkukung dengan apa yang dirasa benar oleh penindas. Secara tidak langsung antidialogis ini merupakan bentuk penjajahan kebebasan yang dimiliki oleh individu untuk mampu berkembang kearah yang lebih baik. Antidialogis tentu berbeda dengan dialogis. Sebagaimana ini banyak hal yang sekiranya ditunjukkan dialogis yang bertentangan pada antidialogis. Penyeruan kebebasan dan berpikir kritis merupakan salah satunya.  

Contoh masalah yang ada:

Pada konteks permasalahan pendidikan ini merupakan imbas dari ketidak adanya keadilan perlukuan antara siswa didik dengan pendidik. Sebagaimana seringkali pendidik merasa mendewakan dirinya sendiri karena kecukupan akan pengetahuan. Sehingga ia berhak melakukan apapun kepada siswa didik agar mampu menjadi lebih baik menurut pendidik tersebut. Siswa pun hanya menuruti akan perintah guru tersebut karena dikdaya pendidik yang menganggap dirinya teragungkan. Hal ini terus menerus diproduksi siswa tersebut. Mulai pada mengenal bangku sekolah hingga memasuki era perkulian hal semacam itu terus saja terjadi.
Pada sifatnya ini pendidik memiliki upaya untuk mampu memajukan siswa- siswa tersebut dengan ilmu yang dimiliki. Namun cara yang digunakan oleh pendidik itu sendiri dapat dikatakan salah. Sejak dari dulu siswa hanya dituntut untuk menghafal bukan memahami apa yang dilakukan oleh guru tersebut. Terlebih pendidik tersebut tidak memberikan ruang bagi anak didiknya  untuk berkreasi lebih menanyakan prihal- prihal yang sukar. Anak didik hanya diajarkan diam, menyimak, dan mengejarkan apa yang pendidik perintahkan kepadanya.
Pada waktu sekolah dasar kita tentu perna diajarikan untuk mengeja. Sebagaimana bentuk bahan bacaan yang dikaji merupakan teks book ataupun hal yang sekiranya ada dibuku namun benda itu tidak perna dilihat secara langsung oleh siswa. Hal ini seringkali pendidik tidak memiliki inovasi dalam pengajaran, mereka menerapkan dengan apa yang ada dibuku dan membacakan sesuai buku. Sebagaimana anak yang diajarkan tersebut tentunya tidak mampu memahami secara jelas bila tidak ada benda nyatanya. Pada konteksnya adalah anak- anak SD yang berada dikelas 1-3. Hal ini menunjukkan siswa hanya diberi ilmu namun tidak ada komunikasi yang intens didalamnya. Siswa hanya menerima apa yang diberikan oleh gurunya tanpa rasa igin tau untuk bertanya. Ketidak adanya penginovasian dalam pembelajaran ataupun trik khusus pendidik untuk memancing siswa tersebut bertanya menciptakan hubungan antidialogis dan sistem bank.
Proses penerimaan pendidikan dari awal ini menjadikan tolak ukur siswa dalam bertindak selanjutnya. Sehingga secara siswa memproduksi apa –apa yang diterima dari awal ini. Ketergantungan siswa pada pendidik merupakan refleksi dari ketertindasan siswa tersebut pada pendidik. Meskipun secara tidak langsung pendidik itu ingin merentas siswanya dalam ketertindasan menuju kebebasan. Namun tanpa adanya kesadaran dan proses belajar yang salah pada siswa membuat hal tersebut sulit dilakukan.
Selain pada waktu sekolah dasar penindasan lebih parah terjadi pada waktu memasuki bangku sekolah menengah atas, lebih tepatnya penindasan tersebut terjadi pada beberapa orang pendidik yang ambisius. Sebagaimana pemahaman penulis pendidiknya tidak memiliki cakupan keilmuan yang cukup maupun pendidik memiliki obsesi lebih pada siswa didiknya agar mampu menjadi seperti halnya dirinya. Pada kasusnya yang hal ini pendidik memiliki keterbatasan ilmu yang menjadikan kurangnya hubungan dialogis antara siswa dan pendidik. Hal ini hanya akan memunculkan antidialogis pendidik terhadap siswa sehingga pendidik tersebut sewenang- wenang pada siswanya. Pendidik tersebut menerapkan ilmu yang dipahaminya lantas siswa hanya menghafal apa yang ditulis ataupun diucapkan oleh pendidik. Sedangkan pada saat siswa tersebut tidak paham pendidik hanya menampung pertanyaan siswa tersebut tidak memberikan penjelasan yang baik pada siswa. Selain itu bila tidak ada kesuain dengan pendidik siswa dimarahi dengan alasan yang berbagai macam. Hal ini memunculkan sikap antidialogis pada siswa.
Pada pemahaman siswa yang diperlakukan hal semacam itu berulangkali menyebabkan dirinya tidak ingin menanyakan hal hal pada pendidik yang dikiranya tidak merespon secara baik permasalahan siswa tersebut. Konsekuensinya siswa- siswa lain juga memulai anggapan yang sama bahwasannya pendidik tidak paham apa yang diajarkan dan murid kini hanya mengiyakan apa yang dikatan oleh pendidik terlebih ia menyesuaikan dengan pendidik tersebut. Penciptaan pendidikan antidialogis secara tidak langsung menimbulkan sistem pendidikan banking dan membuat siswa lebih pasif. Siswa tersebut hanya diberikan ilmunya saja tanpa adanya komunikasi antar dua pihak yang terkait (pendidik- terdidik). Konsep yang diperlihatkan dalam sistem banking, siswa  Guru mengajar - murid diajar, Guru bercerita - murid patuh mendengarkan, Guru berbuat - murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan gurunya, Guru memilih bahan dan isi pelajaran - murid menyesuaikan diri dengan pelajaran itu, dan lain sebagainya.
Hasilnya siswa acapkali tidak paham dengan mata pelajaran yang diajarkan oleh pendidik. Sehingga menjelaskan model pendidikan semacam itu tidak efektif. Dikarenakan siswa hanya disuruh menghafal tanpa dipraktikkan secara langsung. Maupun hal ini disebabkan kerena tidak ada respon yang baik oleh pendidik kepada siswanya. 
Pada tingkat yang lebih tinggi yakni mencapai perguruan tinggi, siswa dirasa mulai dibebaskan berpikir. Sebagaiman mulai menciptakan hubungan dialogis yang membaik bagi siswa tersebut. Banyak metode pembelajaran yang sekiranya mampu memancing siswa tersebut untuk bertanya. Namun hal ini sekiranya kurang mendapat respon yang baik bagi mahasiswa tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan jarangnya siswa untuk menanyakan sesuatu pada dosen mata kuliah. Hal ini adalah bentuk imbas dari pendidikan masa lalu yang terlalu mengekang pola pemikiran siswa hingga terbawa pada era mahasiswa ini. Dalam konsep freire ini menunjukkan bahwa mahasiswa tersebut belum mampu terlepas dari penindasan masa lalunya. Meskipun sudah ada reaksi yang baik bagi pendidik tersebut.
Ketidak mampuan satu mahasiswa terlepas dari penindasan tersebut membuat mahasiswa lain juga mulai merasakan hal yang sama. Hal ini berbagai macam pendidik melakukan komunkasi pada mahasiswanya baik secara personal maupun kelompok. Sebagaimana sering dilakukan diskusi maupun sharing- sharing antara dosen dan mahasiswa baik dalam kampus ataupun diluar kampus untuk mencari solusi masalah yang dihadapi tersebut. Pada solusi yang dihadirkan dosen pada mahasiswa tersebut dengan cara mengadakan sebuah diskusi, ataupun melemparkan pertanyaan pada mahasiswa dengan bahan acuan pembelajaran. Sehingga secara tidak langsung dosen telah memposisikan mahasiswa bukan lagi objek namun telah menjadi subjek. Dengan menjadikan siswa subjek tentunya bahan ajar yang ada dikaji secara bersama- sama. Sebagaimana proses belajar mengajar tersebut berjalan dengan baik tentu tidak luput dikarenakan dosen tidak menempatkan posisinya sebagai kelas yang dominan. Dosen juga belajar pada masalah yang dilontarkan oleh siswa tersebut.
Sebagaimana hal ini cara pengajaran lebih diarahkan dengan melempaskan sebuah permasalahan yang umum pada mahasiswa untuk dikaji secara bersama- sama. Pada pandangan freire ini dikatakan sebagai problem solving education ataupun pendidikan hadap masalah. Sehingga mahasiswa tersebut memahami apa yang dipelajari dengan masalah- masalah yang ada di masyarakat tersebut. Selain itu mereka juga mampu mengembangkan imajinasi mereka prihal maslah- maslaha dan mereduksi solusi yang ada. Tentunya hal ini mereka harus mampu berpikir secara kritis terhadap maslaha tersebut. Hal inilah yang coba ditunjukkan oleh freire dengan membebaskan mereka dalam berpikir. Sebagaimana ini dengan memahami realitas yang ada tentunya pada pandangan dari mahasiswa sendiri lebih mudah untuk dipahami dan tidak lagi hanya sekedar menerawang yang belum jelas. Tapi sudah pada tahap pemahaman realitas yang ada.
Pada dasarnya pendidikan kaum tertindas ini mencoba merefleksikan apa yang coba dialami oleh kaum tertindas. Bahwasannya mereka sedang diperbudak oleh kaum dominan untuk mereproduksi apa yang mereka lakukan. Sebagaimana pada pandangan freire hal tersebut harus dihilangkan karena tidak adanya kebebasan dalam pilihan mereka. Tentunya dengan anggapan hal tersebut tidak memanusiakan manusia itu sendiri (dehumanisasi). Sehingga menyebabkan prihal freire lebih mencondongkan pada hal – hal yang membebaskan mereka dengan bergabagai konsep yang sekiranya lebih humanistis. Mulai dari pendidikan hadap masalah, dialogis, dan emncoba menghilangkan budaya bisu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar