Dramaturgi Media Sosial
Apa yang saya lakukan sekarang
ini bisa dianggap sebagai dramaturgi media sosial. kalau yang belum mengenal
dramaturgi itu merupakan salah satu teori yang dikemukakan oleh Evring Goffman
yang mencoba menjelaskan bahwa manusia itu sedang memainkan berbagai macam
peran dalam hidupnya. Ada yang namanya panggung depan atau yang sering kita
lihat pada umumnya lalu ada yang namanya panggung belakang yang kita tidak tau
apa saja yang dia lakukan dibelakang kita. Dalam artian semua ini yakni kemunafikan
manusia itu sendiri dalam bersikap. Hal ini yang akan kita bahas dan menjadi
bahan celoteh kali ini.
Pada dasarnya dalam bermedia
sosial tentu kita memiliki tujuan- tujuan tertentu dalam menjalin interaksi
maupun sekedar memposting sesuatu dalam story. Tujuan- tujuan tersebut
menjadikan teman yang melihat story kita memiliki prasangka- prasangka tertentu.
Tidak dipungkiri bahwasannya bisa saja ada prasangka negatif. Terlepas dari hal
tersebut tidak dipungkiri pula apa yang kita pasang sebagai story biasanya
belum tentu kita lakukan. Hal tersebut dikarenakan hanya sebagai eksistensi
semata.
Banyak anggapan bahwa dalam
menjalin interaksi sosial dalam dunia maya bahwa apa yang kita posting dalam
dunia maya tersebut hanya sebagai framming/ bingkai kehidupan kita yang hanya
pada fase- fase tertentu saja kita tampakkan. Terlebih hanya pada masalah-
masalah yang bahagia saja, jarang sekali memposting segala suatu yang sedih. Maka
dalam hal ini tentu kita harus lebih bijak dalam menggunakan media sosial.
Adapun dalam kasus ini yang
melibatkan dramaturgi Evring Goffman, sebagaimana adanya anggapan bahwa kita
memainkan dua peran dapat kita temui pula pada diri kita tergantung tujuan
masing- masing individunya. Sebagaimana hal berikut yang sering menjadi
kontroversi yakni masalah saat seseorang memposting hal- hal yang berbau agama,
ataupun tindakan amal maupun ibadah mereka sehari- hari. Ada dua anggapan dalam
hal ini ;
Pertama yakni orang yang
menganggap bahwa itu adalah pecitraan pemasang status. Sebagaimana jika kita
memasang status kebaikan maka secara otomatis orang akan memiliki prasangka
bahwa dia adalah orang yang baik. terlepas dari itu belum tentu orang yang
memasang status tersebut adalah orang baik. karena anggapannya yakni mereka
adalah orang- orang yang riya’ ingin memamerkan apa yang ingin mereka perbuat. Belum
lagi tidak setiap hari mereka melakukan hal itu, bisa saja ia hanya membagikan
postingannya saja tanpa melakukan tindakan tersebut. semisal orang yang
mengingatkan untuk puasa sunnah, sholat malam maupun lain sebagainya.
Kedua yakni anggapan bahwa tidak
apa- apa orang yang membagi postingan positif berarti mereka mengajak kita
untuk berbuat baik. Terlebih kita sudah dianjurkan untuk selalu mengajarkan
kebaikan. Hal ini tentunya bisa dilakukan berbagai cara, cara termudah yakni
dengan hanya memposting hal- hal yang positif dan menjadikan orang yang membaca
tertarik dan ikut melaksanakan kegiatan
tersebut.
Adanya dua persepsi itu
menjadikan kita bimbang, akan bagaimana cara kita dalam bersikap. Memang lebih
baik dalam diri kita dalam berbuat baik alangkah baiknya kita menyembunyikan
kebaikan tersebut sebagaimana gusti allah menyembunyikan aib kita. Namun tidak
salah juga jika kita berniat mengajak kebaikan dengan cara memancing dalam
memposting sesuatu yang sikapnya positif. Semua tergantung dari diri kita
bagaimana menyikapi dan menanggapi adanya sebua drama dalam bermedia sosial
tersebut. semoga kita dijauhkan dalam prasangka- prasangka negatif dan
perbuatan riya’ yang mampu menggerogoti amal ibadah kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar